Refleksi Film 'I Not Stupid too'

Assalamualaikum...
Selama work from home ini gak sedikit dari kita yang menghabiskan waktu luangnya dengan maraton movie 😁 nah, di tulisan kali ini saya mau bahas film aja yang dua hari lalu saya tonton ya, menurutku ini film relate banget sama kehidupan sehari-hari dan kehidupan saya sbg guru BK yang sering saya temui juga. Yuk mulai.... (Oh ya judul filmnya "I Not Stupid Too")

 Film “I Not Stupid Too” sangat inspiratif untuk ditonton oleh siapa saja, oleh orang tua, oleh orang-orang yang senang dan sedang berkecimpung di dunia pendidikan, seperti dosen, kepala sekolah, guru mata pelajaran, guru Bimbingan dan Konseling dan juga oleh siswa atau mahasiswa. Dan bagi saya pribadi, film ini sangat bagus dan tepat untuk saya sebagai seorang mahasiswa yang dipersiapkan untuk menjadi seorang pendidik dan guru pembimbing atau konselor. Seorang pendidik atau guru pembimbing yang harus mengerti dan memahami kondisi psikologis peserta didik sesuai dengan tahap perkembangannya, dan pendidik atau guru pembimbing yang harus mampu mewujudkan anak didik yang berkualitas dan sadar akan kemampuan atau potensi yang dimilikinya. Dan sebagai seorang calon orangtua bagi anak-anak saya kelak. Orang tua yang bisa memahami setiap fase perkembangan anak-anaknya, orangtua yang bisa memahami potensi yang dimiliki anak-anaknya sehingga bisa memahami keinginan mereka dan mendidik mereka dengan baik di lingkungan keluarga dan sekitarnya.
Sebelum mengulas dan merefleksi mengenai film ini saya terlebih dahulu akan menyebutkan tentang komponen-komponen yang ada dalam pendidikan. Komponen-komponen tersebut antara lain, adanya tujuan pendidikan, adanya pendidik, adanya peserta didik, adanya alat pendidikan, dan adanya lingkungan. Komponen-komponen tersebut sudah seharusnya ada dalam dunia pendidikan, tanpa komponen tersebut pendidikan tidak akan terlaksana dengan baik. Untuk mengulas film ini saya akan mencoba menanggapi mengenai sistem pendidikan yang digambarkan yaitu dari sisi pendidik dan lingkungannya khususnya lingkungan keluarga.
Dimulai dari sisi pendidik. Dalam film ini digambarkan seorang guru yang tidak pernah menghargai usaha muridnya-muridnya, guru yang belum bisa memahami minat dan potensi yang dimiliki murid-muridnya. Ketika seorang muridnya berusaha menyelesaikan tugas yang diberikannya, guru tersebut meremehkan pekerjaan muridnya sehingga mereka merasa tidak dihargai atas apa yang telah mereka kerjakan. Dia selalu menganggap bahwa murid-muridnya itu tidak berguna, sudah tidak ada yang bisa diharapkan dan hanya bisa mencari-cari alasan apabila tidak mengerjakan tugas dengan baik atau mendapatkan nilai ujian yang buruk. Hal seperti itu sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang pendidik atau guru pembimbing karena pendidik atau guru pembimbing adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bimbingan kepada perserta didik dalam perkembangan jasmani & rohaninya agar mencapai tingkat  kedewasaan (mampu berdiri sendiri) untuk memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, individu yang mandiri dan sosial.
Pendidik atau guru pembimbing saharusnya bisa memahami apa yang diminati dan apa saja potensi para peserta didiknya karena hal itu sebagai kunci mereka. Dia harus bisa menerapkan sistem pembelajaran dan cara membimbing yang bisa menarik minat peserta didik sehingga bisa terjalin komunikasi yang baik antara guru dengan muridnya. Seorang pendidik atau guru pembimbing tidak boleh bersikap meremehkan setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh peserta didiknya, tetapi hendaknya memberi motivasi, penghargaan, apresiasi, dan memberikan kepercayaan kepada mereka bahwa mereka bisa meningkatkan prestasi  belajar mereka lebih baik lagi dan mereka mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki masing-masing. Sehingga peserta didikpun merasa ada yang mendukung untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Selanjutnya saya akan mencoba merefleksi film ini dari segi lingkungan keluarga.  Pengaruh lingkungan keluarga besar sekali terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Lingkungan keluarga merupakan “dasar” segala pendidikan selanjutnya; pengalaman pertama dan utama. Kepemimpinan orang tua dalam praktek pendidikan keluarga ada yang otoriter, liberal, dan demokratis. Membimbing anak merupakan upaya “kesejahteraan keluarga”
Dalam film ini digambarkan mengenai kondisi keluarga dimana orang tua dalam keluarga tersebut belum mampu menerapkan pola asuh yang tepat bagi anak-anaknya. Kondisi orang tua yang mempunyai kesibukkan masing-masing baik ayah atau ibunya sehingga mereka tidak mempunyai waktu yang lebih untuk memerhatikan anak-anaknya dan berkomunikasi secara intensif atau akrab. Orang tua yang hanya bisa menuntut anak-anaknya untuk berprestasi dalam bidang akademik saja sedangkan prestasi di bidang lainnya seperti prestasi dari bakat yang dimiliki oleh anak-anaknya itu dianggap bukan prestasi. Mereka hanya bisa menuntut anak-anaknya sedangkan sikap mereka terhadap anak-anaknya seolah-olah tidak peduli dan tidak memahami apa yang sebenarnya diinginkan dan diminati oleh anak-anaknya. Mereka hanya bisa memarahi anak-anaknya apabila prestasi di bidang akademiknya tidak memuaskan dan apabila anak-anaknya melakukan kesalahan. Pola asuh itulah yang dimaksud dengan pola asuh otoriter.  Alhasil karena pola asuh seperti itu, maka anak-anaknya merasa tidak memiliki orang tua, terasa hampa, tidak memiliki kekayaan dan kebahagiaan seutuhnya. Sehingga berdampak buruk terhadap proses pendidikan dan perkembangan anak-anaknya.
Seharusnya orang tua bisa memahami keinginan anak-anaknya, apa yang menjadi minat dan potensi yang dimiliki anak-anaknya. Sesibuk apapun pekerjaan orang tua tetap saja mereka harus menyisihkan waktu untuk berkumpul dan berkomunikasi dengan anak-anaknya, sehingga anak-anak bisa menyampaikan apa yang menjadi keinginan mereka dan akhirnya mereka bisa berprestasi sesuai dengan potensi yang dimilikinya tanpa merasa dituntut atau ditekan :)

Nah, itu tadi yang saya bisa simpulkan dari menonton film ini. Sekian yaaa..
Wassalamualaikum.wr.wb

Komentar